Jumat, 19 November 2010

Membandingkan kualitas pendidikan di dua Negara tentu saja bukan hal yang mudah. Ada banyak parameter yang harus diperhatikan, dan variable-variabel yang akan dibandingkan harus sangat jelas, terukur dan metodologis. Itulah sebabnya, dalam tulisan ini saya tidak berniat membandingkan kualitas pendidikan di Indonesia dan Australia secara metodologis, tapi lebih kepada ‘sharing of experience’.

Interaksi yang sedikit banyak menghubungkan saya dengan system pendidikan di Australia, lebih bersumber pada obrolan ringan di kantor pada waktu makan siang, interaksi dengan anak salah seorang teman yang tengah belajar di tingkat setara SMU dan dari penitipan anak tempat Abiel sekolah. So, It is probably inaccurate.

Kabarnya ada perbedaan signifikan dari system pendidikan di Australia di berberapa tingkatan. Hal ini terkait dengan bagaimana mereka memperlakukan siswa dengan cara yang cukup berbeda di tingkat ‘Primary education and below’, ‘Lower secondary education’, dan ‘Upper Secondary education’.

Pada tingkat bawah, Primary school dan up to the 6th grade, suasana belajar berjalan sangat lambat dan bisa dikategorikan sebagai ‘saat bermain’. Yang ingin dibangun dari tahap ini adalah meletakkan ‘pondasi dasar’ secara sistematik bagi anak dan menjadikannya sebagai ‘senjata’ untuk mempelajari dan memahami materi-materi tertentu di tingkat yang lebih tinggi. Fokus diletakkan pada kemampuan berbahasa (membaca dan menulis) serta matematika (berhitung). Subjek-subjek seperti sain, ekonomi, sejarah, seni dan budaya bisa di ‘inkorporasi’ pada materi pelajaran, tetapi hanya berperan sebagai ‘konteks’ dan bukan ‘konten’. Tahap ini adalah awal dari pendidikan wajib (compulsory education).

Lower secondary education adalah tahap berikutnya dari pendidikan wajib. Pada tahap ini berbagai variasi subject (materi pelajaran) mulai diperkenalkan. Beberapa subject yang mendukung pengembangan keterampilan-keterampilan dasar anak dan merupakan pengetahuan esensial bagi seseorang dalam kehidupan bermasyarakat dipelajari dan diimplementasikan secara lengkap. Minat dan bakat dari seorang anak mulai digali di tahap ini.

Pada ‘Upper secondary education’, siswa sudah mulai dikelompokkan dalam bidang-bidang tertentu dan mengambil materi sesuai dengan keinginannya. Di tahap ini ‘loading’ materi cukup padat dan beberapa pengetahuan/keterampilan yang dibutuhkan di tertiary education mulai diperkenalkan pada siswa. Itulah sebabnya tidak jarang kita temukan secondary school dengan fasilitas lab sain yang setara dengan universitas-universitas di tanah air.

Kalau boleh disimpulkan, bersekolah di Australia jauh… jauh lebih mudah dibandingkan sekolah di Indonesia. Anak-anak pindahan dari Indonesia ke Australia memiliki kemungkinan kecil untuk ‘tertinggal’ atau tidak bisa mengikuti pelajaran (tentu saja setelah ‘language barrier’ berhasil diatasi). Sebaliknya, mereka yang telah mengenyam pendidikan dasar/menengah di Australia kemungkinan besar akan mengalami kesulitan berarti saat harus pindah ke sekolah-sekolah di Indonesia. Alasannya, loading materi yg padat semenjak di sekolah dasar, belum lagi kedalaman materi yang cukup signifikan, dan fasilitas yang kurang mendukung. Walaupun demikian, bukan berarti bahwa lulusan-lulusan sekolah dasar/menengah di Indonesia pasti lebih baik dari lulusan sekolah Australia. Mungkin bila dianalogikan, lulusan sekolah Indonesia umumnya lebih jago berhitung dan jago menghafal, sedangkan lulusan sekolah Australia berwawasan lebih luas, lebih kritis dan lebih kreatif…. Mungkin….

Itulah sebabnya, saat di tanah air sedemikian ramai dengan sekolah berstandar nasional(SBN) dan sekolah berstandar international(SBI), semoga itu tidak diartikan sebagai ‘jam sekolah yang lebih panjang’, ‘loading materi yang lebih padat’ atau ‘semakin sedikitnya interaksi siswa dengan linkungannya’, TETAPI ‘fasilitas yang makin baik’, ‘materi yang makin up-to-date’ dan ‘suasana belajar yang semakin fun’…

0 komentar:

Posting Komentar